Langsung ke konten utama

pengertian khafi, mujmal, musykil dan mutasabih

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Al-qur’an diturunkan dalam keadaan berbahasa arab sementara makna yang dikehendaki Allah sangat samar, namun demikian keberadaan rosullullah menjelaskan ayat-ayat Al-qur’an yang tidak jelas kemudian disebut hadist, selanjutnya pada penjelasannya juga tidak jelas maksudnya. Oleh karena itu ushulliyah merumuskan konstruk kaidah-kaidah untuk dijadikan sarana memahami kedua hukum islam tersebut. Dalam al-quran dan hadis banyak sekali ketentuan hukum yang tidak jelas lalu oleh para ulama di kategorikan pada empat macam, khafi, mujmal, musykil dan mutasyabih.
Ketidakjelasan lafadz (al-fadz ghairu al-wadlih) adalah suatu lafal yang tidak jelas maknanya pada sebagian indikasi yang dapat memperjelas maknanya, memang demikian karena lafadz tersebut bentuknya memang tidak jelas dan jenis lafadz seperti ini hanya tuhan yang mengetahuinya, sementara lafadz-lafadz yang lain tidak menjelaskan kandungan maknanya. Ada juga ketidak jelasan lafadz (al-fadz ghairu al-wadlih) dapat dideteksi maknanya melalui pelacakan pada ayat-ayat lain atau dari hadis, karena antara keduanya saling menafsirkan satu sama lain. Selain itu ketidak jelasan lafadz alfadz ghairu al-wadlih) bukan faktor dari bentuk lafadz itu sendiri, bahkan perlu untuk mencocokkan dengan beberapa madlulnya.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud khafy, mujmal, musykil dan mutasabih?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk lafadznya?
3.      Apa kegunaan dari khafi, mujmal, musykil dan mutasyibah?
4.      Bagaimana hukum khafi, mujmal, musykil dan mutasyibah?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian khafy, mujmal, musykil dan mutasabih
2.      Memahami bentuk-bentuk lafadznya
3.      Mengetahui hukum dan kegunaan khafy, mujmal, musykil dan mutasyibah

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Khafiy
Lafaz khafi ialah:
مَا خُفِيَ مَعْنَاهُ فِى بَعْضِ مَدْلُوْ لَاتِهِ لِعَارِضِ غَيْرِ الصِّغَةِ
Suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafadz.[1]
            Khafi adalah lafadz yang dapat menunjukkan kepada artinya secara jelas, namun ketika arti tersebut diaplikasikan kepada kasus tertentu, maka ia menjadi samar dan tidak jelas. Hal tersebut terjadi karena faktor kasus tersebut tidak sama persis dengan kasus yang dibicarakan oleh dalil yang ada.
Sebagai contoh:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِ يَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan keduanya (sebagian) sebagai pembalasan bagi apa yang telah mereka  kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.  Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”(Q.S.Al-Maidah:38)
            Jika kita amati makna pencuri (والسارق) dalam ayat di atas, sangat jelas maknanya yaitu setiap orang yang mengambil harta milik orang lain secara tersembunyi dari tempat yang layak seperti umumnya orang menyimpan harta antara lain lemari, kotak, penyimpan harta. Namun jika ayat di atas dibenturkan dengan kasus yang lain, seperti pencopet (الطرار) yang melakukan pencurian secara terang-terangan dan pencuri kafan mayat (النباش) di kuburan yang tidak jelas pemiliknya, hal ini disebabkan mayat tidak punya hak memiliki harta benda. Oleh karena itu kedua istilah baru ini berdampak kesamaran bagi sebagian jenis pencuri  dalam mengeneralkan penyebutan istilah pencuri. Untuk mengetahui hal ini masih membutuhkan pemikiran lebih mendalam.
            Menurut Abd.Al-Wahhab Khallaf, khafi adalah lafal yang dari segi penujukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidakjelasan itu disebabkan karena bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukan oleh suatu dalil.[2]
            Ulama Ushul berpandangan dalam kasus di atas bahwa pencuri  (والسارق) mencuri harta benda secara tersembunyi sementara pencopet yang mencuri secara teranng-terangan. Karena hal ini mereka berkonsensus bahwa pencopet dihukumi sama dengan pencuri, artinya wajib memotong tangan pencopet, bahkan ia lebih berhak untuk dipotong. Sementara untuk kasus pencuri kain kafan mayoritas Ulama Hanafiyyah sepakat bahwa pencuri kafan tidak dikatagorikan sebagai pencuri pada umumnya karena sesuatu yang terdapat dalam kuburan tidak terhitung sebagai harta benda dan kafan tidak termasuk harta yang disenangi masyarakat pada umumnya, sehingga sipelaku tidak dikatagorikan sebagai pencuri yang dapat menyebabkan kewajiban potong tangan tetapi hanya dita’zir. Sementara Ulama lain dan Abu Yusuf berpendapat sebaliknya yaitu ia terhitung sebagai pencuri pada umumnya dan wajib dipotong tangannya.
            Hukum khafi yaitu wajib berupaya memperjelas makna yang dikehendaki, atrinya wajib menganalisa terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan adanya kesamaran.[3]
B.   Mujmal
1.      Pengertian mujmal
Arti Mujmal menurut bahasa adalah kabur atau tidak jelas, samar-samar. Maksudnya suatu perkara atau lafadz yang tidak jelas atau hal-hal yang memerlukan penjelasan. Mujmal menurut istilah ushul fiqh adalah lafadz atau mantuq yang memerlukan bayan (penjelasan).Mujmal adalah suatu perkataan yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan ini disebut Bayan. Dalam arti lain, kandungan maknanya masih global dan memerlukan perincian. Ketidakjelasan tersebut disebut ijmal.[4]
Secara etimologi, kata mujmal berarti sesuatu yang dikeragui. Secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefenisikan mujmal dalam berbagai macam.[5] Imam Sarakhasi mendefenisikan Mujmal adalah suatu lafal yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang mengeluarkan lafal mujmal itu dan melalui penjelasannya diketahui maksud lafal tersebut. Wahbah Al-Zulaili mendefenisikan Mujmal adalah lafal yang sulit dipahami maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim(orang yang mengucapkan). Jalaluddin Abd al-Rahman mendefenisikan Mujmal adalah kata yang dilalahnya tidak jelas.
Dari beberapa defenisi mujmal di atas dapat dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut. Kesulitan memahami lafal ini bukan erasal dari luarnya, tetapi dari lafal itu sendiri. Untuk memahami  lafal mujmal itu sangat tergantung pada penjelasan mutakallim atau syari’ yang menyampaikan lafal tersebut.
2.      Sebab suatu lafal disebut mujmal
a.       Lafal-lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya lafal quru’ dalam firman Allah surah al-baqarah ayat 228:[6]
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ 
Artinya : wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
            Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam syafi’I berpendapat ahwa lafal quru’ berarti suci sedangkan imam abu hanifa berpendapat bahwa quru’ berarti haid.
b.      Suatu lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil,  seperti kata (الهلوع) pada firman allah surah al-maarij ayat 19-20.
۞ إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا  إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا.
Artinya: Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (الهلوع) yang tidak dapat dipahami karena termasuk lafal asing sehingga Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.[7]
c.       Pemalingan atau pemindahan dari makna lughâwî (etimologi) ke makna ishthilâhî (terminologi)
Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah palingkan dari makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
3.      Hukum Mujmal
Hukum mujmal yaitu kita bersikap tawaqquf (diam) dalam menentukan maksud tersebut maka tidak boleh mengamalkannya kecuali jika ada penjelasan dari syâri’. Jika penjelasan tersebut sempurna dan jelas maka lafal hukum mujmal berpindah ke hukum mufassar dan hukumnya berlaku. Seperti lafal shalat, zakat dan haji. Tetapi jika penjelasan tersebut tidak sempurna dan adanya kesamaran maka berpindah ke hukum musykil. Dalam hal ini, mujthahid berupaya kuat untuk menghilangkan kemusykilan yang terdapat dalam lafal tersebut dengan tidak bergantung pada penjelasan baru dari syari’misalnya lafal riba pada firman allah surah al-baqarah ayat 275:[8]
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah menghalalkan jualbeli dan mengharamkan riba.
Menurut abu hanifah, lafal riba di ayat ini mujmal karena riba secara bahasa erarti tambahan . sebagaimana yang kita ketahui tidak semua tambahan termaksuk riba. Jual beli yang di syariatkan islam bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan penambahan. Namun yang dilarang dalam islam adalah tambahan dalam bentuk transaksi tanpa ada pengganti yang diisyaratkan ketika transaksi berlansung. Atau tidak didukung oleh penjelasan syari’. Dalam hal ini nabi hanya menjelaskan enam jenis barang yang termaksuk riba, yaitu emas, perak, gandum, jelai, korma, dan garam( HR. bukhari). Untuk itu oleh para ulama oleh melakukan berijtihad  menentukan riba dengan cara meng qiyaskan.[9]
4.      Bentuk-bentuk Lafadz Mujmal
Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua macam, pertama lafadz mufrad dan kedua lafadz murakkab.
a.       Lafadz mufrad yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari satu kalimat. Lafadz-lafadz mufrad juga dilihat dari segi jenis ada tiga macam:
1)      Isim artinya nama atau nama benda.
Contoh: ختاز ٍ boleh sebagai pelaku (fa‟il), dalam hal ini diartikan dengan “orang yang memilih”, dan boleh juga sebagai maf‟ul (tujuan) atau penderita, yang dalam hal ini diartikan dengan “orang yang dipilih”.
2)      Fi”il artinya kata kerja
Contoh: عسعس boleh diartikan dengan “datang” dan boleh juga dengan arti “kembali‟ atau “pulang”. باع boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh dengan “membeli”.
3)      Huruf kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang tidak akan berarti bila tidak disambung dengan yang lainnya.
Contoh: وartinya „dan” kedudukannya boleh sebagai ataf (عطف ) artinya penyambung, tetapi boleh juga sebagai al-Ibtida‟ (االبتداء ) artinya kata awal atau permulaan .
Yang termasuk mufrad diantaranya adalah :
1) Lafadz yang diletakkan untuk dua makna secara haqiqat, yakni lafadz-lafadz yang musytarak, seperti lafadz اىقسء yang diletakkan untuk menunjukkan makna “suci” dan makna “haid”.
2) Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab adanya musyabahah (keserupaan) dalam sebuah titik persamaan. Seperti lafadz زْ٘اى yang layak untuk diarahkan pada makna “akal” dan “cahaya matahari”.
3) Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab adanya mumatsalah (kemiripan). Seperti lafadz ٌاىجس yang layak diarahkan pada “langit‟ dan “bumi”, atau benda-benda yang lain.
4) Lafadz yang terkena imbas I‟lal, seperti lafadz ختازَاى yang diarahkan pada bentuk isim fa‟il atau isim maf‟ul (Afandi dan Huda, 2013: 157 -158).
b. Lafadz-lafadz murakkab yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari beberapa kalimat.
Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:
اٗ ٌعف٘ اىري بٍدٓ عقدة اىْناح. . . اىبقسة : ٢٣٧
Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah… (QS. Al-Baqarah: 237)
Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami, karena maknanya tidak tunggal, berarti hukumnya belum pasti. Oleh karena itu, tidak diamalkan sebelum ada penjelasan atau al-Bayan .[10]

C.   Musykil

1.      Pengertian
Musykil menurut bahasa adalah sulit atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya, Sedangkan menurut istilah adalah suatu lafaz yang tidak maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya diperluka adanya qarinah yang dapat menjelaskan kerumitan itu, tentunya dengan pembahasan yang mendalam.
Sebab terjadinya musykil yaitu karena lafaz tersebut mempunyai lebih dari satu arti  yang berbeda, baik arti hakiki maupun arti majaz, dan lafaz itu sendiri tidak menentukan salah satu arti yang dimaksudkan. Atau terjati pertentangan  pemahamannya dengan pemahaman lain, maka tidak akan dapat dipahami arti yang dimaksudkan, kecuali dengan adanya dalil-dalil lain atau qarinah-qarinah yang menjelaskannya.
2.      Contoh musykil dalam al-Qur’an
Sebagai contoh lafaz musykil yang dapat dikemukakan di sini adalah lafal قروء (quru’) dalam firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 228. 
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…”.
Lafaz  قُرُوءٍ  adalah musykil, karena mempunyai dua arti, yaitusuci” dan “haid”. Dan dari sinlah timbul ketidakterangan arti yang dimaksudkan oleh lafaz tersebut apakah  masa  iddah  wanita  yang  ditalak itu  tiga  kali  suci  ataukah  tiga  kali  haid. Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karenanya lafaz tersebut termasuk secara pasti diperlukan adanya qarinah yang akan menjelaskannya. Kelihatannya ulama mengemukakan dalil atau qarinah yang berbeda, sehingga menghasilkan hukum yang berbeda.
3.      Hukum
Hukum menafsirkan lafaz muskil adalah wajib dilakukan dengan pemahaman, pemikiran dan pembahasan terhadapmakna pada lafaz musykil tersebut kemudian diamalkan sesuai dengan hasil pemahaman tersebut dengan mencari tahu qarinah siyak dan faktor luar bias didapati dalam nash lain atau hasil ijthad.


D.   Mutasyabih

1.      Pengertian Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan atau simpang  siur. Amir Syarifuddin mengemukakan bahwa lafaz mutasyabih menurut bahasa adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.[11] Lafaz mutasyabih menurut istilah yaitu: Lafaz yang tidak terang arti yang dimaksudkan karena pada lafaz itu  sendiri dan tidak terdapat qarinah yang menjelaskannya. 
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafaz mutasyabih adalah suatu lafaz yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara’, baik al-Qur'an mampun Sunnah, sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang, kecuali orang-orang yang mendalami ilmu  pengetahuannya. Lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa lafaz mutasyabih adalah suatu lafaz yang dari sigatnya itu sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang menjelaskan maksudnya, tidak ada pula penjelasan dari al-Qur'an dan sunnah Nabi saw. akal (daya nalar) manusia tidak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya menyerahkan kepada Allah swt.
2.      Bentuk Mutasyabih
Mutasyabih itu ada dua bentuk: 
a.       Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa  surah dalam al-Qur'an sepert  الٓمٓ (QS.  Al-Baqarah (2):1,  ق(QS.  Qaaf  (50):1, حٰمۤ (QS. Al-Jasiyah (45):1, طٰسۤمّۤ (QS. Al-Qashash (28):1 dan lain-lain sebagainya. Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dari segi lafaznya. Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. sendiri tidak pernah  menjelaskannya sehingga setiap membaca hanya akan mengatakan  (hanya Allah yang  Maha Mengetahui maksudnya). Demikian juga para salaf dari golongan sahabat dan tabi’in serta dari mazhab Ahli  Sunnah  wal  Jamaah dari  ulama  ilmu  kalam  menyerahkan kepada  Allah  swt.  apa  maksud  yang  terkandung  di  dalamnya.
b.      Ayat-ayat  yang  menurut  zahirnya  mempersamakan  Allah  Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lugawinya karena Allah swt. Maha Suci dari pengertian yang demikian contohnya firman Allah QS. Al-Fath (48):10.

يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ 
Arti lughawi ayat tersebut : “… Tangan Allah di atas tangan mereka…”.
Juga firman Allah swt. dalam QS. Al-Rahman (55):27.
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Arti lughawi ayat tersebut :
“Dan akan tetap kekal muka Tuhanmu yang Maha Besar dan Maha Mulia”.
Di  antara  ulama  ada  yang  berpendapat  bahwa  dalam  al-Qur'an terdapat ayat-ayat mutasybihat dalam bentuk kedua ini, dalam arti bahwa ayat-ayat yang zahirnya  menyamakan Allah dengan sifat-sifat yang terdapat pada manusia adalah termasuk dalam ayat-ayat mutasyabihat. Meskipun tidak mungkin mengetahui artinya, namun mereka berusaha untuk sampai pada maksudnya dengan cara menta’wilkan atau memalingkan arti ayat dari makna zahirnya kepada makna lain yang menghindarkan diri  menyamakan  Allah  dengan  makhluk-Nya. Ini adalah pendapat ulama khalaf.[12] Umpamanya, mereka menta’wilkan lafaz : وَجْهُ رَبِّكَ yang arti zahirnya berarti “muka Tuhanmu” menjadi “zat Tuhanmu” seperti yang terdapat dalam QS. Al-Rahman (55):27  yang  telah  disebutkan  di  atas.  Demikian  pula  kata            يدzahirnya berarti “tangan” menjadi القدرة (kekuasaan).
3.      Sikap Para Ulama Terhadap Ayat Mutasyabih
Perbedaan  pendapat  para  ulama  tentang  ayat-ayat  mutasyabih  pada  dasarnya terletak pada masalah apakah arti dan makna yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih dapat  diketahui  oleh  manusia,  atau  hanya  Allah  saja  yang  mengetahuinya.  Penyebab perbedaan pendapat itu  berawal dari cara menjelaskan struktur kalimat pada ayat berikut 
yang terdapat pada surat Ali Imran ayat  7  :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkam, itulah pokok-pokok isi Al qur´an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabih. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka  mengikuti  sebahagian  ayat-ayat  yang  mutasyaabihaat  daripadanya  untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta´wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta´wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Tokoh sahabat seperti Ubay ibn Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan sejumlah sahabat lainnya, tabi’in dan ahlusunnah berpendapat bahwa waw pada kalimat “war-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” adalah waw ist’naf. Pendapat ini didukung oleh hadits yang di keluarkan Abdurrazzak dalam tafsirnya dan Hakim dalam kitab Mustadrak yang berasal dari Ibn Abbas bahwa ia membaca “ wama ya’lamu ta’wilahu illallah, wayaqulur rosikhuna fil ‘ilmu amanna bihi”.
Pendapat kedua mengatakan makna ayat mutasyabih dapat diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya beralasan bahwa “waw” yang ada pada kalimat “warrasikhuna fil ‘ilmi” adalah “waw athaf” bukan “waw isti’naf ” yang di ’athafkan pada kalimat sebelumnya yaitu kalimat “illallah” dan kalimat “ya quluna” menjadi “Hal”.
Jadi, kesimpulannya adalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui maknanya (ayat mutasyabih). Imam Abu Hasan al-Asy’ari mengikuti pendapat yang kedua ini begitu juga Abu Ishaq asy-Syairazi dan ia memperkuat pendapat ini dengan mengatakan:
Pengetahuan Allah terhadap ayat-ayat mutasyabih itu dilimpahkan juga kepada para ulama yang mendalam ilmunya, sebab firman yang di turunkan-Nya itu adalah pujian bagi mereka. Kalau mereka tidak mengetahui maknanya, berarti mereka sama dengan orang awam”.
Seperti itu juga imam Nawawi, ia mengatakan : “pendapat inilah (yang kedua) yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hambanya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka”.
Dr. Mahmud ibn Abdurrazzak membantah keras pendapat yang mengatakan bahwa dalam al-Qur’an ada ayat yang tidak diketahui maknanya. Ia mengatakan: Pendapat ini tidak benar karena menjadikan perkataan Allah tidak punya makna dan menjadikan para salafusshalih pada derajat orang-orang bodoh yang disebutkan Allah sebagai orang-orang yang memperbuat kata-kata yang sia-sia dan tertutup yang tidak bisa dipahami maknanya. Tidaklahlah masuk akal jika kita mendengarkan perkataan orang asing yang berbicara dengan bahasanya yang tidak kita pahami dan kita tidak tau bahasanya lantas kita berkata setelah mendengarkan pembicaraannya “perkataanmu bagus, dan susunannya baik, perkataanmu itu tidak ada yang salah dan kami membenarkan setiap perkaanmu”.
Dari pernyataan di atas dapat diambil pemahaman bahwa ia meyakini seluruh ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dan diambil maknanya. Pendapat ini sejalan dengan tindakan yang dilakukan Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat, ia telah menafsirkan ayat al-Qur’an baik yang muhkam maupun yang mutasyabih.
Prof. Dr. Hamka memberikan penjelasan bahwa peringatan Allah tentang ayat-ayat mutasyabih bukan berarti ayat mutasyabih tidak dapat diketahui manusia. Peringatan ini bertujuan untuk menyuruh umat manusia agar bersungguhsungguh dalam menuntut ilmu al-Qur’an dan memohon pertunjuk darinya.
Setelah memperhatikan kedua pendapat di atas dapatlah dipahami bahwa kedua pendapat tersebut sama-sama punya dalil yang kuat. Sebagai jalan pengkompromian antara dua pendapat ini ar-Raghib al-Asfahani mengambil jalan tengahnya yaitu dengan membagi ayat mutasyabih kepada tiga bagian, yaitu:
Lafaz ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya, hanya Allah yang dapat mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat, kalimat daabbatul ardhi (binatang yang akan keluar menjelang hari kehancuran alam).
Ayat mutasyabih yang dengan berbagai sarana manusia dapat mengetahui maknanya, seperti mengetahui makna kalimat yang gharib dan hukum yang belum jelas.
Ayat mutasyabih yang khusus dapat diketahui maknanya oleh orang orang yang ilmunya mendalam dan tidak dapat diketahui orang-orang selain mereka sebagaimana diisyaratkan oleh do’a nabi bagi Ibn Abbas:“Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama yang mendalam kepadanya dan dan limpakanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya”
Sebagian ulama yang meyakini bahwa di dalam Al-Qur’an ada ayat mutasyabih yang tidak diketahui oleh seorangpun, tapi hanya diketahui oleh Allah SWT. maksudnya adalah mengetahui hakikat suatu masalah, bukan tafsir lafazh-lafazhnya. Ayat-ayat tentang sifat Allah menjadi mutasyabih bukan dari segi memahami maknanya tetapi ayat tersebut mutasyabih dari segi hakikat maknanya karena semua hakikat hanya diketahui oleh Allah SWT.[13]


BAB III
 PENUTUP
A.    Kesimpulan
Khafi adalah lafadz yang dapat menunjukan kepada artinya secara jelas, namun ketika arti tersebut diaplikasikan kepada kasus tertentu, maka ia menjadi samar dan tidak jelas.
Musykil adalah lafadz yang tidak jelas maknanya karena banyak makna yang dikandungnya sementara tidak ada lafadz lain yang mengindikasikan untuk dimkanai, oleh karena itu untuk mengungkap maknanya hanya dengan wujud indikator setelah melakukan analisis.
Mujmal adalah lafadz yang tidak jelas makna yang dikehendakinya pada bentuk lafadz itu sendiri, dengan kata lain kesamaran itu hanya bisa dipahami dengan akal tapi juga perlu melibatkan dalil naqli.
Mutasyabih adalah lafadz samar maknanya, tidak mungkin untuk memahami maknanya oleh karena itu tidak ada harapan untuk memahaminya karena memang tidak ada penjelasan dalam al-quran dan hadis.



DAFTAR PUSTAKA
Alwan, chairil., Ratu Putrid., dan Mastiah. Resum tentang Mujmal dan Mubayyan. Banten.
Effendi. (2008). Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana
Khallaf, Abdul Wahhab. (2003) ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Hadits.
Syarifuddin, Amir. (2009)  Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. (2004) Ushul Fiqih. Jakarta:  zikrul hakim.


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, 2009, Jakarta: Kencana, hal. 13
[2] Effendi, Ushul Fiqih, 2008, Jakarta: Kencana, hal. 226
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, 2009, Jakarta: Kencana, hal. 16
[4] Chairil Alwan dan Ratu Putrid dan Mastiah, Resum tentang Mujmal dan Mubayyan, Banten, hal. 2
[5] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih, (Jakarta:  zikrul hakim, 2004), Hlm. 161
[6] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih, (Jakarta:  zikrul hakim, 2004), Hlm. 163
[7] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo, Dar al-Hadits, tc., 2003), hlm. 161
[8] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih, (Jakarta:  zikrul hakim, 2004), Hlm. 164
[9] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo, Dar al-Hadits, tc., 2003), hlm. 165
[10] Chairil Alwan dan Ratu Putrid dan Mastiah, Resum tentang Mujmal dan Mubayyan, Banten, hal. 2-3
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2008), hlm. 21.
[12] Ibid, hlm. 23.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Hadis Ahkam Jinayah Percobaan Pembunuhan

BAB I PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Segala puji hanya milik Allah Swt. Yang telah melimpahkan karunia dan inayah-nya kepada pemakalah. Hanya semata karena siraman kasih sayang dan pertolongan-nya, pemakalah dapat menyelesaikan tugas terstruktur mata kuliah Hadis Ahkam Jinayah. Makalah ini terdiri dari pembahasan mengenai hukum-hukum islam tentang percobaan dalam pembunuhan, yang masuk dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS) mata kuliah hadis ahkam jinayah, jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah & Hukum Uin Walisongo Semarang. Makalah ini disusun dengan mengunakan bahasa yang mudah dan sederhana, agar dapat dipahami secara gamplang oleh para mahasiswa. Penulisan makalah ini mengacu pada hukum islam terutama tentang jarimah, baik itu jarimah selesai maupun jarimah yang tidak sempurna. Melalui kata pengantar ini, pemakalah menucapkan terima kasih kepada teman saya satu perjuangan, Rendy Setiawan atas bantuannya memberikan mas