BAB I
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan
penyayang. Segala puji hanya milik Allah Swt. Yang telah melimpahkan karunia
dan inayah-nya kepada pemakalah. Hanya semata karena siraman kasih sayang dan pertolongan-nya,
pemakalah dapat menyelesaikan tugas terstruktur mata kuliah Hadis Ahkam
Jinayah.
Makalah ini terdiri dari pembahasan mengenai hukum-hukum
islam tentang percobaan dalam pembunuhan, yang masuk dalam Rencana Pembelajaran
Semester (RPS) mata kuliah hadis ahkam jinayah, jurusan Hukum Pidana Islam
Fakultas Syariah & Hukum Uin Walisongo Semarang. Makalah ini disusun dengan
mengunakan bahasa yang mudah dan sederhana, agar dapat dipahami secara gamplang
oleh para mahasiswa. Penulisan makalah ini mengacu pada hukum islam terutama
tentang jarimah, baik itu jarimah selesai maupun jarimah yang tidak sempurna.
Melalui kata pengantar ini, pemakalah menucapkan terima
kasih kepada teman saya satu perjuangan, Rendy Setiawan atas bantuannya
memberikan masukan sekaligus membantu mencarikan buku referensi, pemakalah
sangat berhutang budi karena keringat, pikiran, waktu yang menjadi hak dia
tersita dalam penulisan makalah ini.
Terima kasih yang tulus juga pemakalah sampaikan kepada
dosen pengajar bapak Prof. DR. H. Abdul Fatah Idris, M.S.I., yang telah
memberikan penugasan ini kepada pemakalah tentunya hal tersebut pemakalah bisa
lebih paham tentang percobaan pembunuhan baik itu dari segi hukum positif
maupun hukum islam. Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna apalagi produk
yang diciptakan oleh manusia tidak sempurna itu, sebaik apapun sebuah karya
pasti ada kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat pemakalah
butuhkan, untuk wawasan pengetahuan kedepan.
Akhirnya pemakalah memohon kepada Allah Swt, semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Amiin.
Life is for learning and learning is for life.
Semarang, Februari 2020
BAB II
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jarimah adalah
larangan-larangan Allah yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir, perbuatan
yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang dilarang, dianggap jarimah apabila
perbuatan tersebut telah dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu
dianggap jarimah adalah karena perbuatan tersebut dapat merugikan tata urutan
masyarakat atau kehidupan anggota masyarakat atau pertimbangan-pertimbangan
lain yang harus dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru
membawa keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’
melarang yang namanya jarimah karena dari segi kerugiannya itulah yang
diutamakan didalam pertimbangan.
Disamping itu
perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai dilakukan dan adakalanya
tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif
jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع). Disamping itu
perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang
bersama-sama dengan orang lain yang disebut dengan turut serta melakukan jarimah
(الاءشتراك).
Maka dilihat dari
latar belakang, pemakalah akan lebih mefokuskan pembahasan tentang jarimah yang
tidak sempurna atau bisa disebut percobaan dalam hal ini berkaitan dengan
pembunuhan. Yang dimana pelakunya hanya bisa dikenakan hukuman ta’zir. Tidak
hanya itu didalam makalah juga dicantumkan hadis beserta kandungannya, serta
pandangan para ulama tentang percobaan pembunuhan dalam islam, sehingga tidak
muncul keraguan, dan para pembaca juga bisa lebih memahami tentang percobaan
dalam islam.
Rosulullah Saw,
bersabda :
عن ابى هريرة رضالله عنه قال قل النبي ص م ان لله تجا وزى
عن امتى ما سوست به صدورها مالم تعمل او تكلم
“Abu
Hurairah ra berkata: Nabi Saw telah bersabda:“sesungguhnya Allah mengampuni
umatku karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum
dikerjakan atau diucapkan”.
Pokok Masalah
1.
Apa pengertian percobaan pembunuhan?
2.
Bagaimana kandungan Hadist tentang percobaan?
3.
Bagaimana kedudukan hadis percobaan?
4.
Bagaimana pandangan ulama mengenai percobaan?
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian
Percobaan Pembunuhan.
Definisi percobaan
pembunuhan menurut bahasa adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu.[1]
Sedangkan pengertian percobaan didalam undang-undang mesir, dijelaskan sebagai
berikut: percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud
melakukan (jinayah atau jinhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau
berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak
pelaku.[2]
Percobaan adalah permulaan dari pelaksanaan jarimah yang tidak sampai apa yang
diinginkan. Jelasnya perbuatan itu tidak selesai menurut kehendaknya.
1.
Percobaan menurut hukum positif
Percobaan yang dalam bahasa belanda disebut “poging”,
menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tapi belum selesai
atau belum sempurna. Percobaan dalam KUHP diatur pada pasal 53 ayat (1) sampai
dengan ayat (4) dan pasal 54. Perihal apa yang dimaksud dengan percobaan, pasal
53 ayat (1) mendefinisikan sebagai berikut, “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan
itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri”. Mengenai percobaan
tindak pidana, undang-undang tidak mendefinisikan secara jelas apa yang
dimaksud dengan percobaan itu. Pendapat Hazewinkel
Suringa adalah pendapat ahli hukum pidana Belanda. Pendapat ini memandang
percobaan sebagai strafausdehnungsgrund
atau dasar memperluas dapat dipidananya orang. Percobaan adalah untuk
memperluas dapat dipidananya orang dan tidak memperluas rumusan delik. Percobaan
tidak dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri, melainkan dipandang delik
yang tidak sempurna.
Berbeda dengan pendapat Moeljatno yang menyatakan bahwa percobaan adalah delik selesai dan
berdiri sendiri. Percobaan dapat dipandang sebagai dasar memperluas dapat
dipidananya perbuatan. Dengan demikian percobaan merupakan delictum sui generalis atau delik yang berdiiri sendiri atau delik
selesai namun bentuknya istimewa.[1]
Syarat-syarat suatu tindakan termasuk kedalam tindak percobaan adalah adanya
niat, adanya permulaan pelaksanaan, pelaksanaan tidak selesai yang bukan
disebabkan karena kehendaknya sendiri. Sebagai misal: A hendak membunuh B,
dengan sebilah pisau yang telah diasah terlebih dulu, A kemudian mendatangi
Rumah B. Setelah mengetuk rumah B dan B
kebetulan yang membuka pintu, pada saat yang sama, A mengeluarkan pisau dan
hendak membunuh B, namun berhasil menghindar dan B berteriak meminta tolong,
oleh karena teriakan tersebut, A kemudian melarikan diri. Dari contoh tersebut
jelas ada percobaan pembunuhan, argumentasinya; perbuatan pembunuhan tidak
diteruskan karena teriakan yang membuat pelaku menghentikan niatnya. Singkatnya
percobaan pembunuhan adalah suatu usaha mencapai tujuan yang pada akhirnya
tidak atau belum terjadi.
2. Percobaan menurut hukum islam
Dalam hukum islam istilah jarimah “percobaan” secara
tehnik yuridis tidak didapati dikalangan para ulama termasuk para imam mazhab
tidak secara khusus membahas delik percobaan. Hal ini bukan bearti masalah
tersebut tidak penting, melainkan karena percobaan masuk dalam kategori
jarimah, yang kemudian mereka memisahkan antara jarimah yang sempurna (jarimah tammah) dan jarimah yang tidak
sempurna (gairu tammah).[1]
Ini lebih disebabkan bahwa hukum perbuatan yang tidak sempurna (jarimah gairu tammah) sanksinya adalah
ta’zir dan hal tersebut bisa berubah sesuai dengan ruang dan waktu kebiasaan
serta karakter suku masyarakat begitupun sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa.[2]
Dengan perkataan lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau pemulaan
jahat dianggap maksiat dan dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Karena hukuman had
dan kifarat hanya dijatuhkan kepada jarimah tertentu yang telah selesai.
Menurut Abdul Qadir Audah, perbuatan pidana yang tidak
selesai atau yang diistilahkan dengan percobaan, dipandang sebagai suatu
perbuatan yang sempurna pada tahap perencanaan dan tahap persiapan, namun tidak
selesai pada tahap pelaksanaannya. Seandainya pada tiap tahap tersebut
terkandung unsur maksiat, maka berlaku hukuman pada tiap tahapannya.[3]
Maka apabila dilihat dari pengertian percobaan pembunuhan
dalam hukum islam adalah suatu tindak pidana karena adanya unsur kesengajaan
dan maksud untuk sampai ketujuan, yang bertujuan supaya korbannya mati, namun
tidak mencapai kehendaknya. Unsur kesengajaan dalam hal ini tidak terlepas dari
niat untuk melakukan tindak pidana tersebut. Semua tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang dikaitkan dengan apa yang diniatkannya. Hal ini dinyatakan dalam
sebuah hadis dari umar bin khattab:
إنما
الأعمال باانيات وإنما لكل امرئ مانوى
“semua perbuatan hanya dengan niat dan untuk setiap
urusan tergantung yang diniatkannya”. (HR. Bukhari)
Dalam
hal ini niat sebagai pembeda antara semua perbuatan dan aktivitas, antara
ibadah dengan adat kebiasaan, antara rangkaian ibadah dengan ibadah lainnya.
Begitu juga halnya dengan perbuatan pidana, niat sebagai pembeda antara tindak
pidana yang disengaja dan yang tersalah.
Kandungan Hadis Percobaan Pembunuhan
Dari hadis Rosullulah Saw :
حَدَّ ثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
قَالَا حَدَّ ثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ح وحَدَّ ثَنَا أَبُو بَكْرِ
بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ وَعَبْدَةُ بْنُ
سُلَيْمَانَ ح وحَدَّ ثَنَا ابْنُ الْمُشَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا
ابْنُ أبِي عَدِيٍّ كُلُّهُمْ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أبِي عَرُوبَةَ قَتَادَةَ عَنْ
زُرَارَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ تَجَاوَزَالأُمَتِي عَمَّا حَدَّ ثَتْ بِهِ
أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمْ (رواه مسلم)[1]
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami dari amrun
an-Naqid dan zuhair bin Harb dari ismail bin ibrahim dari Abu Bakr bin Abu
Syaibah dari Ali bin Mushar dan ‘Abdah bin sulaiman dari Ibnu al-Musanna dan
Ibnu Basyar dari ibnu Abu ‘Adiy dai Sa’id bin Abu Urwah dari Qatadah dari
Zurarah dari Abu hurairah berakata: telah bersabda Rosullulah Saw: Tuhan azza
Wajalla memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan oleh dirinya, selama ia tidak
berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena
kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”. (HR. Muslim)
Kandungan dari
hadis tersebut ialah, memikirkan dan merencanakan (marhalah at-tafkir wa
at-tasmim) sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman,
karena menurut aturan dalam Syari’at islam, sesorang tidak dapat dituntut
(sepersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam
dirinya. Aturan tersebut sudah terdapat dalam Syari’at islam sejak mula-mula
diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Salah satu syarat dari percobaan untuk
melakukan kejahatan adalah niat. Tidak akan terjadi suatu tindakan percobaan
terhadap suatu kejahatan tanpa didahului oleh niat dari si pelaku. Dalam fase
pemikiran ini seseorang tidak dapat dikenai sanksi. Rosullulah Saw. Bersabda :
إن الله تجاوز لأمتى
عما وسوست أو حدثت به أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم
“sesungguhnya Allah melewatkan
(tidak menghitung sebagai dosa) bagi umatku yang tersirat dalam selama belum
dia lakukan atau ia ucapkan”. (HR.
Muslim)
Apabila
Seorang pembuat yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya dapat
menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalo dapat menyelesaikannya
maka sudah sepantasnya ia dijatuhi hukuman yang diancamkan dengan perbuatannya
itu. Kalau tidak dapat selesai maka adakalanya karena terpaksa atau karena
kehendaknya sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena kehendaknya sendiri
maka adakalanya karena ia bertaubat
menyesal serta ia kembali kepada tuhan atau sesuatu yang disebabkan
karena sesuatu diluar taubat dan penyesalan diri. Sehingga peristiwa itu
dianggap sesuatu yang tidak sampai kehendaknya dan pelakunya hanya dikenakan
hukuman ta’zir. Hal ini sesuai dengan kaidah :
ان الشروع فى الحرية
لايعاقب عليه بقصاص ولا حدوانما يعاقب عليه بالتعزير[2]
Artinya: sesungguhnya percobaan
berbuat jarimah tidak dihukum qisas atau had melainkan ta’zir.
Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan
oleh syara’. Melainkan hanya diserahkan kepada ulil Amri, baik penentuan maupun
pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan
secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman
untuk masing-masing jarimah ta’zir. Melainkan hanya menetapkan sekumpulan
hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Kedudukan Hadis
Sebagai sumber
hukum islam, hadis berada satu tingkat dibawah Al-Qur’an. Artinya, jika sebuah
perkara hukumnya tidak terdapat didalam Al-Qur’an, yang harus dijadikan
sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt
dalam Al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 7 :
مَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رسولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقَرَى
فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيِنِ
وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْل لاَ يَكُونَ دُولَةَ بَيْنَ الْاَغْنِيَاءِ
مِنْكُمْ وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقٌوا اللهَ إِنَّ اللهَ
شَدِيدُ الْعِقَاب
Artinya : apa saja harta rampasan yang diberikan Allah
kapada Rasul-nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harat itu jangan beredar diantara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.(QS. Al-Hasyr :7)
Pandangan para Ulama.
Istilah percobaan
dikalangan ulama tidak didapati. Akan tetapi dari definisi tersebut kita
perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat pada
mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara
jarimah yang sudah selesai dan jarimah yang tidak selesai. Tidak adanya
perhatian para ulama secara khusus terhadap jarimah percobaan karena kedua hal.
1) Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had
atau qisas. Melainkan dengan hukuman ta’zir bagaimanapun macamnya
jarimah-jarimah itu. Para fuqaha lebih banyak memperhatikan jarimah-jarimah
hudud dan qishas, karena unsur dan syarat-syaratnya sudah tetap tanpa mengalami
perubahan. Ta’zir juga dapat mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
masyarakat. Oleh karena itu, para fuqaha tidak mencurahkan perhatian dan
pembicaraan secara khusus dan tersendiri karena percobaan melakukan jarimah
sudah termasuk jarimah ta’zir.
2) Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencangkup dari
syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus
untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau khifarat. Percobaan
yang pengertian sebagaimana dikemukakan diatas adalah mulai melakukan suatu
perbuatan yang dilarang tapi tidak selesai, termasuk pada maksiat yang
hukumannya adalah ta’zir. Dengan demikian, percobaan sudah termasuk kedalam
kelompok ta’zir, sehingga para ulama tidak membahas secara khusus.
BAB IV
ANALISIS HADIS
Dilihat dari pengertian dan pembahasan diatas, percobaan
pembunuhan didalam islam adalah sesuatu perbuatan yang tidak selesai di tahap
pelaksanaanya tetapi sempurna di tahap perencanaan dan persiapan, sehingga hal
tersebut dinamakan sebagai jarimah yang tidak sempurna. Dan tidak bisa dikenai
sanksi had atau kifarat, karena had dan kifarat hanya bisa diberikan atas
jarimah yang telah selesai atau mencapai kehendaknya. Perbuatan tersebut hanya
bisa dikenai hukuman ta’zir. Hukuman Ta’zir adalah hukuman yang belum
ditentukan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri atau penguasa.
Didalam hukum positif perbuatan ini tergolong pada tindak pidana percobaan
pembunuhan sebagaimana termuat dalam pasal 53 jo 338 jo 339 jo 340 KUHP.
Sedangkan dalam memutuskan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang harus berdasarkan aturan-aturan atau ketentuan yang berlaku dan
sesuai dengan undang-undang Indonesia.
Unsur-unsur bisa disebut sebagai pidana percobaan dalam
islam apabila seseorang telah mempunyai niat untuk membunuh seseorang, kemudian
melakukan perencanan dengan sempurna, namun pada pelaksanaanya tidak sampai
kehendaknya dengan kata lain gagal melakukan pembunuhan, baik disebabkan faktor
internal dari si pelaku seperti taubat dan kembali kepada tuhan maupun dari
luar sipelaku. Sama halnya menurut hukum positif menurut pasal 53 KUHP mengatur
paling tidak ada tiga unsur percobaan. Pertama, unsur niat. Kedua, unsur
permulaan pelaksanaan. Ketiga, unsur tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri.
BAB V
KESIMPULAN
Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah, dan
pelakunya dapat di jatuhkan hukuman sanksi. Jarimah sendiri dibagi menjadi dua
yaitu jarimah sempurna atau tindak pidana selesai dan jarimah tidak sempurna.
Percobaan pembunuhan sendiri masuk sebagai jarimah yang tidak sempurna karena telah
memenuhi unsur-unsur niat, perencanaan tapi tidak sampai kehendaknya. Hukuman
bagi jarimah tidak sempurna adalah Ta’zir, bukan had atau kifarat, maupun
qishah karena hukuman tersebut hanya untuk jarimah tertentu yang telah selesai
seperti pembunuhan, pencurian dan perzinaan. Tidak ada istilah khusus tentang
percobaan dikalangan ulama, bukan bearti tidak penting tetapi karena percobaan
bukan jarimah yang dihukumi had dan qishah, melainkan ta’zir. Dengan adanya
aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir,
maka aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan.
DAFTAR PUSTAKA
Tim penyusun kamus pusat
pembinaan dan pengembangan bahasa, 1990. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka.
Muslich, A Wardi,
2004. Pengantar dan asas hukum
pidana islam. Sinar Grafika. 2004.
Hiariej, Eddy os, 2016. Prinsip-Prinsip hukum Pidana,
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Hanafi, ahmad, 2006. Asas-asas
Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2 Jakarta: Sinar Grafika,2006.
A. Dzajuli, 1997. Upaya
Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, cet, ke-2 Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Audah, Abdul Qodir, at-Tasyri’
al-Jina’i al-Islami, Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.
Al-Imam Abul Husain muslim ibn
al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz, 1. Mesir:
Tijariah Kubra.
[1] Al-Imam Abul Husain muslim ibn al-Hajjaj
al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz, 1. Mesir: Tijariah Kubra,
tth, hlm, 81-82
[2] Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i
al-Islami, Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t, hlm. 343
[1] Al-Imam Abul Husain muslim ibn al-Hajjaj
al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz, 1. Mesir: Tijariah Kubra,
tth, hlm, 81-82
[2] Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i
al-Islami, Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t, hlm. 343
[1] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana
Islam, cet. Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika,2006, hlm. 60.
[2] A. Dzajuli, fiqih Jinayah; Upaya
Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, cet, ke-2, Jakarta: Raja Grafindo
Persada,1997, hlm. 22.
[3] Abdul Qodir Audah, h.224
[1] Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan
pengembangan bahasa , Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 1990,h. 170.
[2] Drs.H.A Wardi Muslich. Pengantar dan asas hukum pidana islam. Sinar Grafika. 2004.
Hal:60
Komentar
Posting Komentar