Langsung ke konten utama

Makalah Hadis Ahkam Jinayah Percobaan Pembunuhan

BAB I
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Segala puji hanya milik Allah Swt. Yang telah melimpahkan karunia dan inayah-nya kepada pemakalah. Hanya semata karena siraman kasih sayang dan pertolongan-nya, pemakalah dapat menyelesaikan tugas terstruktur mata kuliah Hadis Ahkam Jinayah.
Makalah ini terdiri dari pembahasan mengenai hukum-hukum islam tentang percobaan dalam pembunuhan, yang masuk dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS) mata kuliah hadis ahkam jinayah, jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah & Hukum Uin Walisongo Semarang. Makalah ini disusun dengan mengunakan bahasa yang mudah dan sederhana, agar dapat dipahami secara gamplang oleh para mahasiswa. Penulisan makalah ini mengacu pada hukum islam terutama tentang jarimah, baik itu jarimah selesai maupun jarimah yang tidak sempurna.
Melalui kata pengantar ini, pemakalah menucapkan terima kasih kepada teman saya satu perjuangan, Rendy Setiawan atas bantuannya memberikan masukan sekaligus membantu mencarikan buku referensi, pemakalah sangat berhutang budi karena keringat, pikiran, waktu yang menjadi hak dia tersita dalam penulisan makalah ini.
Terima kasih yang tulus juga pemakalah sampaikan kepada dosen pengajar bapak Prof. DR. H. Abdul Fatah Idris, M.S.I., yang telah memberikan penugasan ini kepada pemakalah tentunya hal tersebut pemakalah bisa lebih paham tentang percobaan pembunuhan baik itu dari segi hukum positif maupun hukum islam. Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna apalagi produk yang diciptakan oleh manusia tidak sempurna itu, sebaik apapun sebuah karya pasti ada kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat pemakalah butuhkan, untuk wawasan pengetahuan kedepan.
Akhirnya pemakalah memohon kepada Allah Swt, semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Amiin.
Life is for learning and learning is for life.

Semarang, Februari 2020


BAB II
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang dilarang, dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu dianggap jarimah adalah karena perbuatan tersebut dapat merugikan tata urutan masyarakat atau kehidupan anggota masyarakat atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru membawa keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’ melarang yang namanya jarimah karena dari segi kerugiannya itulah yang diutamakan didalam pertimbangan.
Disamping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai dilakukan dan adakalanya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع). Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama dengan orang lain yang disebut dengan turut serta melakukan jarimah (الاءشتراك).
Maka dilihat dari latar belakang, pemakalah akan lebih mefokuskan pembahasan tentang jarimah yang tidak sempurna atau bisa disebut percobaan dalam hal ini berkaitan dengan pembunuhan. Yang dimana pelakunya hanya bisa dikenakan hukuman ta’zir. Tidak hanya itu didalam makalah juga dicantumkan hadis beserta kandungannya, serta pandangan para ulama tentang percobaan pembunuhan dalam islam, sehingga tidak muncul keraguan, dan para pembaca juga bisa lebih memahami tentang percobaan dalam islam.
Rosulullah Saw, bersabda :

عن ابى هريرة رضالله عنه قال قل النبي ص م ان لله تجا وزى عن امتى ما سوست به صدورها مالم تعمل او تكلم                                                                                                                                       
Abu Hurairah ra berkata: Nabi Saw telah bersabda:“sesungguhnya Allah mengampuni umatku karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan”.

Pokok Masalah
1.      Apa pengertian percobaan pembunuhan?
2.      Bagaimana kandungan Hadist tentang percobaan?
3.      Bagaimana kedudukan hadis percobaan?
4.      Bagaimana pandangan ulama mengenai percobaan?


BAB III
PEMBAHASAN
 Pengertian Percobaan Pembunuhan.
Definisi percobaan pembunuhan menurut bahasa adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu.[1] Sedangkan pengertian percobaan didalam undang-undang mesir, dijelaskan sebagai berikut: percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau jinhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.[2] Percobaan adalah permulaan dari pelaksanaan jarimah yang tidak sampai apa yang diinginkan. Jelasnya perbuatan itu tidak selesai menurut kehendaknya.
1.      Percobaan menurut hukum positif
Percobaan yang dalam bahasa belanda disebut “poging”, menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tapi belum selesai atau belum sempurna. Percobaan dalam KUHP diatur pada pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan pasal 54. Perihal apa yang dimaksud dengan percobaan, pasal 53 ayat (1) mendefinisikan sebagai berikut, “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri”. Mengenai percobaan tindak pidana, undang-undang tidak mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan percobaan itu. Pendapat Hazewinkel Suringa adalah pendapat ahli hukum pidana Belanda. Pendapat ini memandang percobaan sebagai strafausdehnungsgrund atau dasar memperluas dapat dipidananya orang. Percobaan adalah untuk memperluas dapat dipidananya orang dan tidak memperluas rumusan delik. Percobaan tidak dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri, melainkan dipandang delik yang tidak sempurna.
Berbeda dengan pendapat Moeljatno yang menyatakan bahwa percobaan adalah delik selesai dan berdiri sendiri. Percobaan dapat dipandang sebagai dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan. Dengan demikian percobaan merupakan delictum sui generalis atau delik yang berdiiri sendiri atau delik selesai namun bentuknya istimewa.[1] Syarat-syarat suatu tindakan termasuk kedalam tindak percobaan adalah adanya niat, adanya permulaan pelaksanaan, pelaksanaan tidak selesai yang bukan disebabkan karena kehendaknya sendiri. Sebagai misal: A hendak membunuh B, dengan sebilah pisau yang telah diasah terlebih dulu, A kemudian mendatangi Rumah B.  Setelah mengetuk rumah B dan B kebetulan yang membuka pintu, pada saat yang sama, A mengeluarkan pisau dan hendak membunuh B, namun berhasil menghindar dan B berteriak meminta tolong, oleh karena teriakan tersebut, A kemudian melarikan diri. Dari contoh tersebut jelas ada percobaan pembunuhan, argumentasinya; perbuatan pembunuhan tidak diteruskan karena teriakan yang membuat pelaku menghentikan niatnya. Singkatnya percobaan pembunuhan adalah suatu usaha mencapai tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum terjadi.

2.     Percobaan menurut hukum islam
Dalam hukum islam istilah jarimah “percobaan” secara tehnik yuridis tidak didapati dikalangan para ulama termasuk para imam mazhab tidak secara khusus membahas delik percobaan. Hal ini bukan bearti masalah tersebut tidak penting, melainkan karena percobaan masuk dalam kategori jarimah, yang kemudian mereka memisahkan antara jarimah yang sempurna (jarimah tammah) dan jarimah yang tidak sempurna (gairu tammah).[1] Ini lebih disebabkan bahwa hukum perbuatan yang tidak sempurna (jarimah gairu tammah) sanksinya adalah ta’zir dan hal tersebut bisa berubah sesuai dengan ruang dan waktu kebiasaan serta karakter suku masyarakat begitupun sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.[2] Dengan perkataan lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau pemulaan jahat dianggap maksiat dan dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Karena hukuman had dan kifarat hanya dijatuhkan kepada jarimah tertentu yang telah selesai.
Menurut Abdul Qadir Audah, perbuatan pidana yang tidak selesai atau yang diistilahkan dengan percobaan, dipandang sebagai suatu perbuatan yang sempurna pada tahap perencanaan dan tahap persiapan, namun tidak selesai pada tahap pelaksanaannya. Seandainya pada tiap tahap tersebut terkandung unsur maksiat, maka berlaku hukuman pada tiap tahapannya.[3]
Maka apabila dilihat dari pengertian percobaan pembunuhan dalam hukum islam adalah suatu tindak pidana karena adanya unsur kesengajaan dan maksud untuk sampai ketujuan, yang bertujuan supaya korbannya mati, namun tidak mencapai kehendaknya. Unsur kesengajaan dalam hal ini tidak terlepas dari niat untuk melakukan tindak pidana tersebut. Semua tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dikaitkan dengan apa yang diniatkannya. Hal ini dinyatakan dalam sebuah hadis dari umar bin khattab:
إنما الأعمال باانيات وإنما لكل امرئ مانوى                                               
“semua perbuatan hanya dengan niat dan untuk setiap urusan tergantung yang diniatkannya”. (HR. Bukhari)

Dalam hal ini niat sebagai pembeda antara semua perbuatan dan aktivitas, antara ibadah dengan adat kebiasaan, antara rangkaian ibadah dengan ibadah lainnya. Begitu juga halnya dengan perbuatan pidana, niat sebagai pembeda antara tindak pidana yang disengaja dan yang tersalah.

Kandungan Hadis Percobaan Pembunuhan
Dari hadis Rosullulah Saw :

حَدَّ ثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّ ثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ح وحَدَّ ثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ وَعَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ح وحَدَّ ثَنَا ابْنُ الْمُشَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ أبِي عَدِيٍّ كُلُّهُمْ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أبِي عَرُوبَةَ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ تَجَاوَزَالأُمَتِي عَمَّا حَدَّ ثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمْ (رواه مسلم)[1]                
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami dari amrun an-Naqid dan zuhair bin Harb dari ismail bin ibrahim dari Abu Bakr bin Abu Syaibah dari Ali bin Mushar dan ‘Abdah bin sulaiman dari Ibnu al-Musanna dan Ibnu Basyar dari ibnu Abu ‘Adiy dai Sa’id bin Abu Urwah dari Qatadah dari Zurarah dari Abu hurairah berakata: telah bersabda Rosullulah Saw: Tuhan azza Wajalla memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan oleh dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”. (HR. Muslim)
Kandungan dari hadis tersebut ialah, memikirkan dan merencanakan (marhalah at-tafkir wa at-tasmim) sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam Syari’at islam, sesorang tidak dapat dituntut (sepersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya. Aturan tersebut sudah terdapat dalam Syari’at islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan adalah niat. Tidak akan terjadi suatu tindakan percobaan terhadap suatu kejahatan tanpa didahului oleh niat dari si pelaku. Dalam fase pemikiran ini seseorang tidak dapat dikenai sanksi. Rosullulah Saw. Bersabda :
إن الله تجاوز لأمتى عما وسوست أو حدثت به أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم                          
“sesungguhnya Allah melewatkan (tidak menghitung sebagai dosa) bagi umatku yang tersirat dalam selama belum dia lakukan atau ia ucapkan”. (HR. Muslim)
Apabila Seorang pembuat yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya dapat menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalo dapat menyelesaikannya maka sudah sepantasnya ia dijatuhi hukuman yang diancamkan dengan perbuatannya itu. Kalau tidak dapat selesai maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendaknya sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena kehendaknya sendiri maka adakalanya karena ia bertaubat  menyesal serta ia kembali kepada tuhan atau sesuatu yang disebabkan karena sesuatu diluar taubat dan penyesalan diri. Sehingga peristiwa itu dianggap sesuatu yang tidak sampai kehendaknya dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta’zir. Hal ini sesuai dengan kaidah :
ان الشروع فى الحرية لايعاقب عليه بقصاص ولا حدوانما يعاقب عليه بالتعزير[2]                           
Artinya: sesungguhnya percobaan berbuat jarimah tidak dihukum qisas atau had melainkan ta’zir.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’. Melainkan hanya diserahkan kepada ulil Amri, baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir. Melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.

Kedudukan Hadis
Sebagai sumber hukum islam, hadis berada satu tingkat dibawah Al-Qur’an. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat didalam Al-Qur’an, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 7 :

مَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رسولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقَرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيِنِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْل لاَ يَكُونَ دُولَةَ بَيْنَ الْاَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ  وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقٌوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَاب                                                                                                 
Artinya : apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kapada Rasul-nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harat itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.(QS. Al-Hasyr :7)

Pandangan para Ulama.
Istilah percobaan dikalangan ulama tidak didapati. Akan tetapi dari definisi tersebut kita perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat pada mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara jarimah yang sudah selesai dan jarimah yang tidak selesai. Tidak adanya perhatian para ulama secara khusus terhadap jarimah percobaan karena kedua hal.
1)   Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas. Melainkan dengan hukuman ta’zir bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah itu. Para fuqaha lebih banyak memperhatikan jarimah-jarimah hudud dan qishas, karena unsur dan syarat-syaratnya sudah tetap tanpa mengalami perubahan. Ta’zir juga dapat mengalami perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat. Oleh karena itu, para fuqaha tidak mencurahkan perhatian dan pembicaraan secara khusus dan tersendiri karena percobaan melakukan jarimah sudah termasuk jarimah ta’zir.
2)   Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencangkup dari syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau khifarat. Percobaan yang pengertian sebagaimana dikemukakan diatas adalah mulai melakukan suatu perbuatan yang dilarang tapi tidak selesai, termasuk pada maksiat yang hukumannya adalah ta’zir. Dengan demikian, percobaan sudah termasuk kedalam kelompok ta’zir, sehingga para ulama tidak membahas secara khusus.


BAB IV
ANALISIS HADIS
Dilihat dari pengertian dan pembahasan diatas, percobaan pembunuhan didalam islam adalah sesuatu perbuatan yang tidak selesai di tahap pelaksanaanya tetapi sempurna di tahap perencanaan dan persiapan, sehingga hal tersebut dinamakan sebagai jarimah yang tidak sempurna. Dan tidak bisa dikenai sanksi had atau kifarat, karena had dan kifarat hanya bisa diberikan atas jarimah yang telah selesai atau mencapai kehendaknya. Perbuatan tersebut hanya bisa dikenai hukuman ta’zir. Hukuman Ta’zir adalah hukuman yang belum ditentukan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri atau penguasa. Didalam hukum positif perbuatan ini tergolong pada tindak pidana percobaan pembunuhan sebagaimana termuat dalam pasal 53 jo 338 jo 339 jo 340 KUHP. Sedangkan dalam memutuskan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang harus berdasarkan aturan-aturan atau ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan undang-undang Indonesia.
Unsur-unsur bisa disebut sebagai pidana percobaan dalam islam apabila seseorang telah mempunyai niat untuk membunuh seseorang, kemudian melakukan perencanan dengan sempurna, namun pada pelaksanaanya tidak sampai kehendaknya dengan kata lain gagal melakukan pembunuhan, baik disebabkan faktor internal dari si pelaku seperti taubat dan kembali kepada tuhan maupun dari luar sipelaku. Sama halnya menurut hukum positif menurut pasal 53 KUHP mengatur paling tidak ada tiga unsur percobaan. Pertama, unsur niat. Kedua, unsur permulaan pelaksanaan. Ketiga, unsur tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri.


BAB V
KESIMPULAN
Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah, dan pelakunya dapat di jatuhkan hukuman sanksi. Jarimah sendiri dibagi menjadi dua yaitu jarimah sempurna atau tindak pidana selesai dan jarimah tidak sempurna. Percobaan pembunuhan sendiri masuk sebagai jarimah yang tidak sempurna karena telah memenuhi unsur-unsur niat, perencanaan tapi tidak sampai kehendaknya. Hukuman bagi jarimah tidak sempurna adalah Ta’zir, bukan had atau kifarat, maupun qishah karena hukuman tersebut hanya untuk jarimah tertentu yang telah selesai seperti pembunuhan, pencurian dan perzinaan. Tidak ada istilah khusus tentang percobaan dikalangan ulama, bukan bearti tidak penting tetapi karena percobaan bukan jarimah yang dihukumi had dan qishah, melainkan ta’zir. Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir, maka aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan.




DAFTAR PUSTAKA
Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, 1990. Kamus Besar    Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Muslich, A Wardi, 2004. Pengantar dan asas hukum pidana islam. Sinar Grafika. 2004.
Hiariej, Eddy os, 2016. Prinsip-Prinsip hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Hanafi, ahmad, 2006. Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2 Jakarta: Sinar Grafika,2006.
A. Dzajuli, 1997. Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, cet, ke-2 Jakarta: Raja         Grafindo Persada.                       
Audah, Abdul Qodir, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.
Al-Imam Abul Husain muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz, 1. Mesir: Tijariah Kubra. 


[1] Al-Imam Abul Husain muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz, 1. Mesir: Tijariah Kubra, tth, hlm, 81-82
[2] Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t, hlm. 343

     




[1] Al-Imam Abul Husain muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz, 1. Mesir: Tijariah Kubra, tth, hlm, 81-82
[2] Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t, hlm. 343



[1] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika,2006, hlm. 60.
[2] A. Dzajuli, fiqih Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, cet, ke-2, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997, hlm. 22.
[3] Abdul Qodir Audah, h.224



[1] Eddy os. Hiariej, Prinsip-Prinsip hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hlm 325.



[1] Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa , Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 1990,h. 170.
[2] Drs.H.A Wardi Muslich. Pengantar dan asas hukum pidana islam. Sinar Grafika. 2004. Hal:60






Komentar

Postingan populer dari blog ini

pengertian khafi, mujmal, musykil dan mutasabih

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar belakang Al-qur’an diturunkan dalam keadaan berbahasa arab sementara makna yang dikehendaki Allah sangat samar, namun demikian keberadaan rosullullah menjelaskan ayat-ayat Al-qur’an yang tidak jelas kemudian disebut hadist, selanjutnya pada penjelasannya juga tidak jelas maksudnya. Oleh karena itu ushulliyah merumuskan konstruk kaidah-kaidah untuk dijadikan sarana memahami kedua hukum islam tersebut. Dalam al-quran dan hadis banyak sekali ketentuan hukum yang tidak jelas lalu oleh para ulama di kategorikan pada empat macam, khafi, mujmal, musykil dan mutasyabih. Ketidakjelasan lafadz (al-fadz ghairu al-wadlih) adalah suatu lafal yang tidak jelas maknanya pada sebagian indikasi yang dapat memperjelas maknanya, memang demikian karena lafadz tersebut bentuknya memang tidak jelas dan jenis lafadz seperti ini hanya tuhan yang mengetahuinya, sementara lafadz-lafadz yang lain tidak menjelaskan kandungan maknanya. Ada juga ketidak jelasan lafadz (al-f